Senin, 07 Mei 2012

perkembangan usia madya

NAMA : DAHLIA NIM : 10842003825 JURUSAN :BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM/ V MATA KULIA :PSIKOLOGI ORANG DEWASA & LANSIA DOSEN PEMB. :Drs.MUKHLIS, M,Si KARAKTERISTIK USIA MADYA 1. Usia madya merupakan periode yang sangat ditakuti Bahwa semakin mendekati usia tua, periode usia madya semakin terasa lebih menakutkan dilihat dari seluruh kehidupan manusia. Oleh karena itu orang-orang dewasa tidak akan mau mengakui bahwa mereka telah mencapai usia tersebut, sampai kelender dan cermin memaksa mereka untuk mengakui hal itu. Seperti dikatakan oleh Desmond, “orang-orang amerika memasuki usia madya dengan rasa segan, susah, dan ketakutan. Untuk takut dengan memasuki usia madya yaitu: a. Banyaknya stereotip yang tidak menyenangkan tentang usia madya, yaitu kepercayaan tradisional tentang kerusakan mental dan fisik yang diduga disertai dengan berhentinya reproduksi kehidupan serta berbagai tekanan tentang pentingnya masa muda bagi kebudayaan amerika disbanding dengan penghormatan untuk masa tersebut oleh berbagai kebudayaan Negara lain.dan mereka berharap dapat kembali ke masa-masa muda. 2. Usia madya merupakan masa transisi Usia madia merupakan masa dimana pria dan wanita meninggalkan cirri-ciri jasmani dan perilaku masa dewasanya dan memasuki suatu periode dalam kehidupan yang akan diliputi oleh cirri-ciri jasmani dan perilaku baru. Seperti periode: a. Dia mengalami perubahan keperkasaan dan wanita dalam kesuburan. Transisi berarti penyesuaian diri terhadap minat, nilai, dan pola perilaku yang baru. Dimana dapat dilihat baik bagi pria maupun wanita pasti terdapat perubahan terhadap hubungan yang berpusat pada pasangannya (pair centred relationship) bila dibandingkan dengan hubungan yang berpusat pada keluarga (family centred relationship) selama tahun-tahun awal periode dewasa, ketika peran utama pria dan wanita didalam rumah adalah sebagai orang tua. Sebagai peran dirumah, pria harus menyesuaikan diri terhadap perubahan, yang kelak masa tua akan datang dan kondisi pekerjaan perlu disesuaikan dengan kondisi fisik mereka. Selama usia madya, kimmel telah mengidentifikasi tiga bentuk krisis pengembangan yang umum dan hamper universal seperti: • Krisi sebagai orang tuaditandai dengan sindrom yang merupakan krisis yang terjadi apabila anak-anak gagal memenuhi harapan orang tua. • Krisis yang timbul karena oarng tua berusia lanjut, sehingga sering timbul reaksi-reaksi dari anak-anaknya. • Krisi yang berhungan dengan kematian, khususnya pada suami istri. 3. Usia madya merupakan masa stress Usia ini merupakan usia masa stress karena penyesuaian secara radikal terhadap peran dan pola hidup yang berubah, khususnya bila disertai dengan berbagai perubahan fisik, cendrung merusak Homeostasis fisik dan psikologi seseorang dan membawa kemasa stress. Marmor telah membagi sumber-sumber umum dari stress pada usia madya yaitu: a. Stress somatic, yang disebabkan oleh keadaan jasmani yang menunjukkan usia tua. b. Stress budaya, yang berasal dari penempatan nilai yang tinggi pada kemudaan, keperkasaan dan kesuksesan oleh kelompok budaya tertentu. c. Stress ekonomi, yang diakibatkan oleh beban keuangan dari mendidik anak dan memberikan status symbol bagi seluruh anngota keluarga. d. Stress psikologi, yang diakibatkan oleh kematian suami atau istri, kepergian anak dari rumah, kebosanan terhadap perkawinan, atau rasa hilangnya masa muda dan mendekati ambang kematian. 4. Usia madya merupakan usia berbahaya Cirri ini berbahaya dalam rentang kehidupan. Cara biasa menginterprestasi “usia berbahaya” berasal dari kalangan pri yang ingin melakukan pelampiasan untuk melakukan kekerasan yang berakhir sebelum memasuki usia lanjut. Saat ini merupakan suatu masa diman aseseoarang mengalami kesusahan fisik sebagai akibat dari terlalu banyak bekerja, rasa cemas yang berlebihan, ataupun kurang memperhatikan kehidupan.timbul penyakit jiwa datang dengan cepat dikalangan pria dan wanita, dan gangguan ini berpuncak pada suisid (bunuh diri). 5. Usia madya merupakan usia canggung Usia madya canggung ini sama seperti pada remaja, bukan anak-anak dan juga bukan dewasa. Demikian juga pria dan wanita berusia madya, mereka bukan muda lagi, tetapi juga bukan tua. Franzblau mengatakan bahawa “orang yang berusia madya seoalah-olah berdiri diantara generasi pemberontak yang lebih mudah dan generasi warga senior”.merasa bahwa keberadaan mereka dalam masyarat tidak dianggap, orang berusia madya berusaha untuk tidak dikenal oleh orang lain. Keinginan untuk tidak dikenal bagi pria dan wanita barusia madya Nampak dalam cara mereka berpakaian. 6. Usia madya merupakan masa berprestasi Menurut Erikson, usia madya merupakan masa krisis dimana baik “ generasivitas” (generativity) kecendrungan untuk menghasilkan maupun stagnasi kecendrungan untuk tetap berhenti akan dominan. Selama usia madya, orang akan menjadi lebih sukses atau sebaliknya mereka berhenti dan tidak akan mengerjakan sesuatupun sama sekali. Dan oaring usia madya berkemauan yang kuat untuk berhasil dari masa-masa persiapan pada sebelumnya. Biasanya, pria meraih puncak kariernya antara usia 40-50 tahun, yaitu setelah mereka puas terhadap hasil yang diperoleh dan menikmati, hasil dari kesuksesan mereka sampai mereka mencapai usia 60 tahun. Usia madya ini merupakan masa dimana peran kepemimpinan pada pria dan wanita dalam pekerjaan, perindustrian dan organisasi masyarakat merupakan imbalan atas prestasi yang dicapai. 7. Usia madya merupakan masa evaluasi Karena usia madya pada umumnya merupakan saat pria dan wanita mencapai puncak pretasinya. Maka logislah apabila masa ini juga merupakan saat mengevaluasi prestasi tersebut berdasarkan aspirasi mereka semula dan harapan orang lain baik dari keluarga maupun temannya. Sebagaj hasil dari evaluasi diri, Archer lebih lanjut mengatakan, ”usia madya nampaknya menuntuk perkembangan perasaan yang lebih nyata dan berbeda dari orang lain. Dalam perkembangan setiap fantasi atau ilusi mengenai apa dan bagaimana dirinya. Tanggungjawab lain pada usia madya menyangkut hal fantasi dan ilusi. 8. Usia madya merupakan masa individu dievaluasi dengan standar ganda Satu standar bagi pria dan wanita, walauppun perkembangannya cendrung mengarah kepersamaan peran antara pria dan wanita baik dirumah, perusahaan, perindustrian, profesi maupun dalam kehidupan social. Namun masi terdapat standar ganda terhadap usia. Meskipun standar ganda ini mempengaruhi banyak aspek terhadap kehidupan pria dan wanita usia madya tetapi ada dua aspek khusus yang perlu diperhatikan: a. Aspek yang berkaitan dengan perubahan jasmani. Contoh ketika rambut pria menjadi putih, timbul kerut-kerut dan keriput di wajah dan juga terdapat beberapa bagian otot yang mengendur. Misalnya di pinggang. Perubahan pada wanita dipandang tidak menarik lagi, dengan penekanan utama “pemakaian usia madya”. b. Standar ganda dapat dilihat pada cara mereka (pria dan wanita) menyatakan sikap terhadap usia tua. Ada dua pandangan filosofis yang berbeda tentang bagaimana orang harus menyesuaikan diri dengan usia madya yaitu • Mereka harus tetap merasa mudah serta aktif • Mereka harus menua denngan anggun semakin lambat dan hati-hati dan menjalani hidup denngan nyaman. 9. Usia madya merupakan masa sepi Bahwa masa ini dialami sebagai masa sepi ( empaty nest), masa ketika anak-anak tidak lama lagi tinggal bersama orang tua. Contohnya anak yang mulai beranjak dewasa yang telah bekerja dan tinggal diluar kota sehingga orang tua yang terbiasa dengan kehadiran mereka dirumah akan merasa kesepian dengan kepergian mereka. Periode masa sepi pada usia madya lebih bersifat traumatic bagi wanita dari pad bagi pria. Hal ini benar khususnya pada wanita yang telah menghabiskan masa-masa dewasa mereka dengan pekerjaan rumah tangga. Dan banyak pula yang mengalami tekanan batin karena dipensiunkan (retirement shock). Kondisi serupa juga dialami pria ketika mereka mengundurkan diri dari pekerjaan. 10. Usia madya merupakan masa jenuh Bahwa sering kali periode ini merupakan periode kejenuhan. Banyak pria dan wanita mengalami kejenuhan pada akhir usia tiga puluhan dan empat puluhan. Para pria jenuh dengan kegiatan rutin sehari-hari dan kehidupan bersama keluarga yang hanya member sedikit hiburan. Wanita yang menghabiskan waktunya untuk memelihara rumah dan membesarkan anak-anakny. Wanita yang tidak menikah yang mengabdikan hidupnya untuk bekerja atau karier, menjadi bosan dengan alasan yang sama dengan pria. Acher menerangkan tentang kejenuhan yang dialami oleh pria yaitu: Apabila saatnya anda berusia 40 tahun, semua orng termasuk anda mengetahui bahwa anda dapat melakukan apa saja yang sedang anda kerjakan. Dan pada waktu yang sama beberapa orang pria menjadi jenuh. Beberapa orang mulai mencari kekuasaan baru, bagaimanapun juga pada umumnya keadaan ini diketahui dengan harapan semoga seseorang telah menggunakan kesempatannya yang terakhir untuk
mengubah arah dan untuk memilih sasaran-sasaran baru. Kejenuhan tidak akan mendatangkan kebahagiaan ataupun kepuasan ada usia manapun. Akibatnmya usia madya sering kali merupakan periode yang tidak menyenakan dalam hidup. Pada usia madya khususnya pada umur 40-49 tahun, mereka menemukan masa tersebut sebagai masa yang hampir tidak menyenangkan.

psikologi sosial


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Prasangka dan Diskriminasi telah dapat kita jumpai didalam kehidupan sehari-hari, dan istilah ini sering kali digunakan berganian.namun psikologi social membedakan secara jelas dalam pembahasan ini. Psikologi social telah lama mengenal pentingnya prasangka dalam tingkah laku social masyarakat. Maka, dengan mempelajari topic ini kita akan dapat mengetahui banyak tentang sumber, sifat, dan dampaknya. Untuk dapat diketahui ada gambaran tentang penemuan yaitu akan meneliti tentang sifat dari prasangka dan diskriminasi dua kata yang yang digunakan sebagai sinonim tetapi pada kenyataan merujuk pada konsep-konsep yang berbeda.

Dan penulis akan memafarkan dalam makalah ini tentang prasangka dan diskriminasi. Yang mana Kenyataan menunjukan bahwa dalam masyarakat didapapti adanya bermacam-macam kelompok, misalnya kelompok pendidik, kelompok sepak bola, kelompok pendaki gunung dan sebagainya. Kelompok satu dapat sejalan dengan kelompok yang lain, tetapi tidak jarang ditemui kelompok satu berselisih dengan kelompok yang lain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam masyarakat didapati adanya kelompok yang berselisih dan terjadi adanya antagonistic. Berkaitan dengan antagonistic ini adanya beberapa elemen yang mendasarinya yang saling mengait, tetapi masing-masing. Elemen-elemen tersebut adalah stereotip, prasangka dan diskriminasi.

BAB II

PEMBAHASAN

PRASANGKA DAN DISKRIMINASI

  1. Pengertian

Prasangka adalah sebuah sikap ( biasanya negative) terhadap anggota kelonpok social tertentu hanya berdasarkan keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki prasangka terhadap kelompok social tertentu cendrung mengevaluasi anggotanya dengan cara yang sama (biasanya dengan cara negative) semata karena mereka anggota kelompok tersebut. Trait dan tingkah laku individu mereka memainkan peran yang kecil, mereka tidak disukai, hanya mereka termasuk dalam kelompok tertentu.[1] Hal ini dapat terpicu secara otomatis.

Prasangka sama seperti halnya dengan sikap yang lain, mempengaruhi pemrosesan informasi social kita, keyakinan kita terhadap orang yang termasuk dalam berbagai kelompok dan perasaaan kita terhadap mereka.prasangka tetap ada karena kelompok yang berada dan tidak kita sukai dapat meningkatkan selfesteem dan menghemat usaha kognitif kita.

Adapun menurut para ahli yaitu sebagai berikut:[2]

Allport, “Prasangka adalah antipati berdasarkan generalisasi yang salah atau generalisasi yang tidak luwes. Antipati itu dapat dirasakan atau dinyatakan. Antipati bisa langsung ditujukan kepada kelompok atau individu dari kelompok tertentu. “Kata kunci dari definisi Allport adalah”antipati”, yang oleh Webster’s Dictionary disebut sebagai “perasaan negatif”. Allport memang sangat menekankan bahwa antipati bukan sekedar antipati pribadi, melainkan antipati kelompok.

Johnson (1986) mengatakan, prasangka adalah sikap positif atau negatif berdasarkan keyakinan stereotip kita tentang anggota atau kelompok tertentu. Seperti halnya sikap, prasangka meliputi keyakinan untuk mengambarkan jenis pembedaan terhadap orang lain sesuai dengan peringkat nilai yang kita berikan. Prasangka yang berbasis ras kita sebut rasisme, sedangkan yang berdasarkan etnik kita sebut etnisisme.

Menurut Jones (1986), prasangka adalah sikap antipati yang berlandaskan pada cara mengeneralisasi yang salah dan tidak fleksibel. Kesalahan itu mungkin saja diungkapkan secara langsung kepada orang yang menjadi anggota kelompok tertentu. Prasangka merupakan sikap negatif yang diarahkan kepada seseorang atas dasar perbandingan dengan kelompok sendiri.

Effendy (1981), sebagaimana dikutip Liliweri (2001), mengemukakan bahwa prasangka merupakan salah satu rintangan atau hambatan berat bagi kegiatan komunikasi, karena orang yang berprasangka belum apa- apa sudah bersikap curiga dan menentang komunikator yang melancarkan komunikasi. Dalam prasangka, emosi memaksa kita untuk menarik kesimpulan atas dasar syakwasangka, tanpa menggunakan pikiran dan pandangan kita terhadap fakta yang nyata. Karena itu, sekali prasangka itu sudah mencekam, orang tidak akan dapat berpikir objektif, dan segala apa yang dilihatnya selalu akan dinilai secara negatif.

Prasangka berasal dari akar yang salah satunya adalah komflik lansung antar kelompok situasi dimana kelompok-kelompok social bersaing untuk memperoleh sumber daya yang terbatas. Akar kedua dari prasangka adalah pengalaman awal dan proses pembelajaran social. Terkadang presangka berakar dari aspek dasar kognisi social cara kita memproses imformasi social.

Prasangka menjadi sebuah lingkaran kognitif yang tertutup dan cendrung bertambah kuat seiring dengan berjalannya waktu. Sebagai sebuah sikap, prasangka juga melibatkan prasangka negative atau emosi pada orang yang dikenei prasangka ketika mereka hadir atau hanya dengan memikirkan anggota kelompok yang tidak mereka sukai.[3]

Mengapa prasangka ada?

1. Secara individu, mereka memiliki prasangka karena dengan melakukannya mereka meningkatkan citra diri mereka sendiri. Ketika individu yang berprasangka memandang rendah sebuah kelompok yang dipandangnya negative. Hal ini membuat mereka yakin akan harga diri mereka sendiri untuk merasa superior dengan berbagai cara. Dengan kata lain, pada beberapa orang prasangka dapat memainkan sebuah peran penting untuk melindungi atau meningkatkan konsep diri mereka.

2. Pandangan prasangka adalah karena dengan melakukan hal tersebut kita dapat menghemat usaha kognitif, stereotip, secara khusus tampaknya melakukan fungsi ini. Ketika streotif terbentuk, kita tidak perlu melakukan proses berfikir yang hati-hati dan sistematis, lagi pula karena kita “ tahu” seperti apakah anggota kelompok ini, kita dapat melakukan proses berfikir yang lebih cepat berdasarkan dorongan proses heuristic dan semua keyakinan yang telah dimiliki sebelumnya.

Dan prasangka ini juga dapat diartikan dalam buku ( prof. Dr Bimo Walgito) bahwa prasangka merupakan evaluasi kelompok atau seseorang yang mendasarkan diri pada keanggotaan dimana seseorang tersebut menjadi anggotanya. Prasangka merupakan evaluasi negative terhadap outgrip. mengenai prasangka ini terdapat beberapa teori yang satu dengan yang lain berpijak pada pndapat yang berbeda satu dengan yang lain. Teori-teori tersebutada yang berpusat pada bagaimana prasangka itu dapat memotivasinya untuk memenuhi kebutuhan dari yang bersangkutan. Disamping itu ada teori yang mendasarkan diri pada proses kognitif. Yang dapat dikemukakan:

a. Teori belajar social, yangmendasarkan diri tentang terbentuknya prasangka.

b. Teori motivasional yang memusatkan diri pada masalah motivasi bahwa prsangka dapat memenuhi untuk mencapai kesejahteraan dari yang bersangkutan.

c. Teori kognitif, sebagai dasarnya terbentuknya prasangka.

Diskriminasi merupakan keadaan yang telah berkaitan dengan keadaan yang nyata.[4]

Diskriminasi (discrim nation) merujuk pada aksi negative terhadap kelompok yang menjadi sasaran prasangka. Diskriminasi melibatkan aksi negative terhadap anggota berbagai kelompok social. Diskriminasi secara leksikal adalah perlakuan terhadap orang atau kelompok yang didasarkan pada golongan atau kategori tertentu. Sementara diskriminasi kasar jelas telah menurun, bentuk yang lebih halus, seperti rasisime modern dan tokenisme, masi tetap ada.

Diskriminasi juga dapat berakar dari sikap implicit yang terpicu secara otomatis dan stereotip yaitu sikap yang tidak disadari oleh individu. Diskriminasi dapat diartikan sebagai sebuah perlakuan terhadap individu secara berbeda dengan didasarkan pada gender,ras, agama,umur, atau karakteritik yang lain. Dari kedua definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa inti dari diskriminasi adalah perlakuan berbeda.

Sedangkan pengertian diskriminasi terhadap penyandang cacat atau difabel lebih didasarkan pada kondisi fisik atau kecacatan yang disandangnya. Masyarakat selama ini memperlakukan para difabel secara berbeda lebih didasarkan pada asumsi atau prasangka bahwa dengan kondisi difabel yang kita miliki, kita dianggap tidak mampu melakukan aktifitas sebagaimana orang lain pada umumnya.

Perlakuan diskriminasi semacam ini dapat dilihat secara jelas dalam bidang lapangan pekerjaan. Para penyedia lapangan pekerjaan kebanyakan enggan untuk menerima seorang penyandang cacat sebagai karyawan. Mereka berasumsi bahwa seorang penyandang cacat tidak akan mampu melakukan pekerjaan seefektif seperti karyawan lain yang bukan difabel. Sehingga bagi para penyedia lapangan kerja, mempekerjakan para difabel sama artinya dengan mendorong perusahaan dalam jurang kebangkrutan karena harus menyediakan beberapa alat bantu bagi kemudahan para difabel dalam melakukan aktifitasnya.[5]

Diskriminasi pada dasarnya adalah penolakan atas HAM dan kebebasan dasar. Dalam Pasal 1 butir 3 UU No. 39/1998 tentang HAM disebutkan pengertian diskriminasi adalah “setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan HAM dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan sosial lainnya.[6]

Sejak dimulainya reformasi 1998, harus diakui telah terdapat beberapa kebijakan yang secara siginifikan melarang dan menghapuskan diksriminasi. Misalnya, Inpres Nomor 26 Tahun 1998 Tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, Ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan. Inpres ini keluar sebagai respon atas kerusuhan terutama yang terjadi di Jakarta, Surakarta, dan Medan, yang secara eksplisit bersumber pada berbagai bentuk diskriminasi rasial terhadap golongan Tiong Hwa. Juga dicabutnya Inpres No.14/1967 tentang pelarangan adat istiadat dan kebudayaan Cina di ruang publik dengan Keppres No. 6/2000.

Berikut ini beberapa contoh peraturan perundang-undangan yang bersifat diskriminatif:

· Keputusan Presidium No.127/Kep/12/1966 tentang prosedur penggantian nama keluaraga Cina yang asli ke nama Indonesia

· Inpres No. 14/1967 tentang pelarangan adat cina di ruang publik (telah dicabut dengan Keppres No. 6/2000 di masa Presiden GusDur).

· Keppres No. 240/1967 tentang Warga Negara Indonesia Keturunan Tiong Hwa.

· TAP MPRS No. 32/1966 tentang pelarangan penggunaan bahasa dan aksara mandarin dalam media massa dan dalam nama toko atau perusahaan.

· Presiden Habibie telah membuat Inpres No.26/1998 tentang penghentian penggunaan istilah pribumi-non pribumi serta meniadakan pembedaan dalam segala bentuk.

· Keputusan BAKIN No.Kpts-031 sampai 032 tahun 1973 tentang pembentukan struktur dan kewenangan Badan Koordinasi Masalah Cina.

  1. Teori Belajar Sosial

Teori belajar merupakan salah satu teori dalam hal belajar. Teori ini dikemukakan oleh bandura yang berpepatah bahwa belajar itu terjadi melalui model atau contoh. Prasangka seperti halnya sikap, merupakan hal yang terbentuk melali proses belajar. Pada waktu anak dilahirkan ia belum membawa prasangka. Prasangka disosialisasikan melalui orang-orang dewasa, khususnya orang tua. Disamping orang tua prasangka terbentuk melalui orang-orang yang ada disekitarnya, termasuk teman-temannya. Banyak prasangka yang dipelajari oleh seseorang di luar ruamahnya, dimasyarakat luas. Prasangka merupakan norma social dimana seseorang menjadi anggota kelompok. Apabila suatu kelompok mempunyai norma tertentu (dalam hal ini prasangka terhadap kelompok lain), maka anggota kelompok akan terbentuk pula prasangka terhadap kelompok tersebut.[7]

Dalam kaitan dengan terbentuknya prasangka ini peran media massa tidak dapat ditinggalkan. Bagaimana peran media massa baik yang cetak maupun elektronik kedua-duanya merupakan sumber yang sangat berperan dalampembentukan prasangka.

  1. Teori Motivasional atau Decision Making Theory

Teori ini memandang prasangka sebagai sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan individu atau kelompok untuk mencapai kesejahteraan dalam teori ini beberapa teori yang tercakup didalamnya yaitu:[8]

1. Pendekatan psikodinamika

Teori ini menganalisis prasangka sebagai suatu usaha untuk mengatasi tekanan motivasi yang ada dalam diri individu, dan melihat dari dinamika yang ada dalam diri individu yang bersangkutan. Disisi lain dapat pula disebabkan karena penyimpangan kepribadian. Dari studi adorno berkesimpulan bahwa prasangka timbul dari orang yang mempunyai pribadi autoiter hal ini menimbulkan sindrum kekuasaan, melebih-lebikan kekuasaan, menimbulkan permusuhan yang emngakibatkan timbulnya prasangka.

2. Realistic group conflict

Komplik antarkelompok akan terjadi apabila kelompok-kelompok tesebut dalam keadaan berkompetisi. Ini menyebabkan adanya permusuhan antara kedua kelompok tersebut yang kemudia bermuara pada adanya saling berprasangka satu dengan yang lain, saling memberikan evaluasi yang negative. Dengan demikian maka prasangka tidak dapat dihindarkan sebagai akibat adanya komflik yang nyata antara kelompok yang satu dengan yang lain. Pada umumnya mempunyai dampak yang tidak diinginkan sebagai suatu kesatuan yang besar.

3. Deprivasi relative

Dalam kelompok antar kelompok yang nyata, prasangka timbul sebagai respons terhadap frustasi yang riil dalam kehidupan antara kelompok yang satu dengan yang lain. Tetapi kadangkadang orang mempersepsi diri sendiri mengalami deprivasi atau kerugian secara relative terhadap pihak lain., walaupun dalam kenyataannya tidak demikian. Persepsi ini dapatmembawa permusuhan antara kelompok satu dengan yang lain, dan sebagi akibatnya dapat menimbulkan prasangka.

  1. Teori Kognitif

Dalam teori kognitif ini, proses kognitif menjadi dasar dari timbulnya prasangka. Hal ini berkaitan dengan:[9]

1. Kategorisasi atau penggolongan

Hal ini apabila seseorang memperspsi orang lai atau apabila sesuatu kelompok mempersepsi kelompok lain, dan memasukan apa yang dipersepsi itu kedalam suatu kategori tertentu. Misalnya kulit putih dan kulit hitam.

2. Ingroup lawan outgoup

Kategorisasi dapat menuju ke ingroup dan outgroup apabila adanya kategorisasi kita dan mereka, dan ini yang menimbulakan ingroup dan outgroup. Seseorang dalam suatu kelompok merasa dirinya sebagai ingroup dan orang lain dalam kelompok lain sebagai outgroup. Dmpaknya yang timbul adalah:

a) Anggota ingroup mempersepsi anggota ingroup yang lain lebih mempunyai kesamaan apabila dibandingkan dengan anggota outgroup.

b) Kategorisai ingroup dan outgroup mempunyai dampak bahwa ingroup lebih faforitdari pada outgroup.

c) Bahwa seseorang dalam ingroup memnadang outgroup lebih homogin dari pada ingroup baik dalam hal kepribadian maupun dalam hal-hal yang lain.

  1. Usaha Mengatasi Prasangka

Seperti diketahui bahwa prasangka merupakan hal yang lebih banyak merugikan dari pada menguntungkan. Oleh karena itu masalah yang timbul adalah dengan cara bagaimana prasangka itu dapat dikurangi atau kalau mungkin dapatdihilangkan. Untuk mengurangi prasangka yang ada langkahnya dapat diambil adalah dengan cara mengadakan direct intergroup contact, seperti yang dikeukakan oleh Allport yang dikenal dengan contact theory. Kontak atau hubungan secara lansung secara berkesinambungan atau berkelanjutan akan mengurangi prasangka yang ada. Misalnya orang kulit putih berdampingan rumahnya dengan orang kulit hitam, sehingga demikian langkah tersebut akan mengurangi prasangka yang ada. Disamping itu juga cara mengadakan kerjasama. [10]

Anggota sesuatu kelompok yang prasangka terhadap kelompok lain, diasakan kerjasama dalam suatu kerja untuk mencapai tujuan bersama, mereka saling bergantung satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama tersebut. Dengan cara demikin mereka saling berintegrasi satu dngan yang lain. Sehingga mereka tahu dengan tepat keadaan kelompok yang satu dengan keadaan kelompok yang lain. Keadaan sebenarnya dapat diketahui oleh masing-masing pihak. Sebenarnya prasangka timbul karena kurang adanya imformasi yang jelas dan yang senyatanya yang ada pada masing-masing pihak. Dengan mengetahui keadaan yang sebenarnya hal tersebut akan mengurangi atau bahkan mengurangi atau bahkan menhilangkan prasangka yang ada.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Prasangka adalah sebuah sikap (biasanya negative) terhadap anggota kelompok social tertentu semata-mata berdasarkan keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Hal ini sifatnya dapat dipicu secara otomatis dan dapat pula secara implicit maupun ekplisit. Prasangka seperti halnya sikap yang lain, mempengaruhi cara kita memproses imformasi social, keyakinan kita terhadap orang yang menjadi anggota berbagai kelompok dan prasangka kita terhadap mereka.

Prasangka tetap ada karena kelompok yang tidak sukaidapat meningkatkan self-estem kita dank arena stereotipdapat menghemat usaha kognitif kita.

Diskriminasi melibatkan aksi negative terhadap anggota berbagai kelompok social. Diskriminasi jugadapat berakar dari sikapimplisit yang terpicu secara otomatis dan stereotip sikap dimana individu tidak menyadarinya.

Sumber prasangka berasal dari teori komplik realistis, proses belajar social, katergorisosial. Diskriminasi dapat diartikan sebagai sebuah perlakuan terhadap individu secara berbeda dengan didasarkan pada gender,ras, agama,umur, atau karakteritik yang lain. diskriminasi. Yang mana Kenyataan menunjukan bahwa dalam masyarakat didapapti adanya bermacam-macam kelompok, misalnya kelompok pendidik, kelompok sepak bola, kelompok pendaki gunung dan sebagainya.

B. Saran

saya sebagai penulis hanya mampu membuat makalah dengan seperti ini, karna penulis baru tahap belajar. Dengan itu mungkin masi banyak kekurangan baik dalam makalah sebagai penulisan maupun sebagai isinya. Dari itu pemakala menerima kritik dan saran untuk kebaikan makalah ini kemasa yang selanjutnya. Dan penulis juga mengucapkan terima kasih dari dosen pembimbing, yang mana beliau telah membimbing dengan baik juga atas bantuan buku-buku yang mana telah berhasil menyelesaikan makalah ini dengan sebaik mungkin. Bagi pembaca yang budiman penulis mohon maaf atas semua kesalahan ataupun kehilafan, dan penulis berharap makalah ini dapat bermamfaat bagi semuanya. Amiiiiiin……….!

DAFTARPUSTAKA

http://cakfu.info/2006/09/diskriminasi-perasaan-atau-realitas/

http://sekitarkita.com/2009/05/kajian-hukum-dan-perundang-undangan-tentang-diskriminasi/

Byrne, Donn Robert A. Baron. 2004. psikologi social Jakarta: erlanga.

Walgito, Bimo Prof. Dr. 1978. psikologi social Yogyakarta: andi.

http://dayaknews.blogspot.com/2008/12/teori-prasangka_27.html

Tugas Terstruktur Dosen Pembimbing

Psikologi Sosial Agus Sillahudin, S. Sos.i

MAKALAH

“PRASANGKA DAN DISKRIMINASI”

DISUSUN OLEH:

DAHLIA

10842003825

JURUSAN BPI

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

PEKANBARU

2010

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan segala puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan hidayahNya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul : “Prasangka Dan Diskriminasi”

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing Bapak Agus Sillahudin, S.Sos.I yang telah memberikan kepercayaan kepada kami untuk menyusun makalah ini.

Dengan segala kerendahan hati kami mengakui tugas ini masih jauh dari kesempurnaan, walaupun kami sudah berusaha menyusun tugas ini dengan baik. Namun penulis mengharapkan komentar, kritik dan saran dari rekan-rekan serta dosen pembimbing khususnya demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini selanjutnya.

Harapan kami mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Pekanbaru, 27 Desember 2010

Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................. i

Daftar Isi....................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang............................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian...................................................................................... 2

B. Teori Belajar Sosial

C. Teori Motivasional atau Decision Making Theory

D. Teori Kognitif

E. Usaha Mengatasi Prasangka

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan....................................................................................

B. Saran...............................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................


[1] Robert A. Baron Donn Byrne psikologi social (Jakarta: erlanga. 2004) hlm 213

[3] Ibid hlm 214

[4] Prof. Dr. Bimo Walgito psikologi social (Yogyakarta: andi. 1978) hlm 83

[7] Opcit prof. Dr. Bimo Walgito hlm 84

[8] Ibid hlm 85

[9] Ibid hlm 86

[10] Ibid hlm 87